Sosialisasi Lemah, Regulasi Program RW Bekasi Keren Dinilai Tidak Matang

Tren IDN, Bekasi – Program penataan lingkungan “RW Bekasi Keren” dengan kucuran anggaran Rp100 juta per RW yang awalnya dielu-elukan sebagai terobosan pemberdayaan masyarakat, kini justru menuai kritik dan keresahan di tingkat pelaksana.

Bukan terkait manfaatnya, melainkan perubahan regulasi di menit akhir yang dinilai membingungkan, minim sosialisasi, dan berpotensi menyeret para Ketua RW ke masalah administratif hingga ranah hukum.

Sejak pertama disampaikan ke para RW beberapa bulan lalu, Pemkot Bekasi menjanjikan bahwa anggaran dapat dikelola langsung oleh RW agar percepatan penataan lingkungan dapat berjalan efektif.

Ketua RW kemudian diminta menyusun proposal kegiatan dan rencana anggaran. Namun ketika proposal hampir dikirim, mekanisme tiba-tiba berubah: anggaran tidak lagi dikelola RW, melainkan wajib melalui Kelompok Masyarakat (Pokmas) dengan skema Swakelola Tipe IV.

Plt. Kepala Bagian Tata Pemerintahan (Tapem) Heni Setiowati membenarkan adanya perubahan mekanisme.

Ia mengatakan bahwa sebelum pencairan anggaran, Pemkot melakukan bimbingan teknis (bimtek) kepada jajaran kelurahan, termasuk Lurah selaku PPK dan KPA, serta pejabat kelurahan yang akan menjadi PPTK dalam pelaksanaan program.

“Bimtek ini digelar Inspektorat untuk memberikan pemahaman kepada para pelaksana, mulai dari Lurah sampai PPTK di tingkat kelurahan,” kata Heni saat di wawancara awak media Jumat (24/10/2025)

Menjawab isu yang beredar bahwa regulasi program ditolak Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dirinya menepis. Pemkot Bantah Ada Penolakan dari Provinsi, Akui Aturan Disesuaikan Ulang

“Tidak ada penolakan. Kalau namanya usulan, wajar ada koreksi. Itu bagian dari fasilitasi. Kami lakukan penyesuaian sesuai arahan provinsi, dan kami mengikutinya,” tegasnya.

Menurut Heni, pembentukan Pokmas menjadi syarat wajib sesuai ketentuan Swakelola Tipe IV. Pokmas beranggotakan tujuh orang dan diketuai oleh Ketua RW.

Ia menambahkan, belanja barang diperbolehkan, namun harus melekat dalam sebuah kegiatan dan tidak boleh menjadi belanja barang murni.

“Output-nya bukan hanya barang, tetapi hasil kegiatan,” ujarnya menekankan.

Jika Pokmas menyatakan tidak sanggup menjalankan, Pemkot membuka opsi mekanisme lain melalui kesepakatan warga yang ditandatangani secara resmi.

Di tingkat pelaksana, perubahan aturan di saat proposal hampir dikirim membuat RW mengeluh karena harus menyusun ulang proposal dan konsep kegiatan dari nol.

Ketua RW 012 Kranji, Bekasi Barat, Heru Nurrohman, mengatakan RW pada dasarnya mendukung program, namun kebijakan yang berubah-ubah tanpa transisi yang jelas dan minim pendampingan dapat menjadi bumerang bagi RW.

“Kami sudah siapkan proposal sesuai arahan awal, bahkan sudah final. Tiba-tiba berubah ke Pokmas dan Swakelola Tipe IV, tentu ini membuat bingung,” ujarnya.

Heru menilai perubahan mendadak rawan memicu kesalahan administrasi dan pelanggaran regulasi, terutama bagi RW yang tidak memahami aspek teknis pengelolaan anggaran pemerintah.

“Kami tidak ingin tersandung hukum hanya karena minimnya sosialisasi. Sebelum diterapkan ke bawah, aturan harus final, jangan berubah saat kami sudah menyusun. Jika salah langkah, RW yang kena,” tegas Heru.

Sejauh ini, menurutnya, sosialisasi di tingkat kelurahan masih belum merata, sehingga RW belum bisa menginformasikan secara utuh ke RT dan warga.

RW juga mempertanyakan apakah regulasi terbaru ini sudah mendapat persetujuan final dari Provinsi Jawa Barat agar tidak muncul revisi lagi saat pencairan. Dan rencana kegiatan warga ikut terganggu, potensi salah penyerapan anggaran

Di RW 012, anggaran direncanakan 70% untuk kegiatan fisik/infrastruktur, dan 30% untuk barang penunjang lingkungan.

Namun karena aturan berubah, konsep tersebut harus dievaluasi ulang agar sesuai Swakelola Tipe IV.

Di beberapa RW lain, rencana belanja barang bahkan mencapai 70–80%, dan kini harus dipangkas dan diubah untuk mengikuti regulasi baru.

Hal ini memicu kekhawatiran bahwa banyak RW akan terjebak salah format penggunaan anggaran sehingga berpotensi dianggap menyimpang atau tidak tepat sasaran.

Percakapan antar-RW di group WhatsApp pun ramai membahas kegamangan teknis, mulai dari contoh kegiatan yang diperbolehkan, bentuk pertanggungjawaban, hingga tata cara pelaporan agar tidak menjadi temuan audit.

Heru menyampaikan satu pesan penting yang kini mewakili keresahan banyak RW aturan Harus Final, Sosialisasi Wajib Turun ke RW Sebelum Program Dijalankan

“Program untuk rakyat harus dikaji matang dulu, terutama regulasi dan konsekuensi hukumnya. Jangan diumumkan dulu, baru aturan disesuaikan belakangan. RW mendukung penuh, tapi minta kepastian dan pendampingan agar tidak menjadi masalah di kemudian hari.”

Para RW berharap Pemkot tidak sekadar memberi bimtek pada level kelurahan, tetapi turun langsung memberikan edukasi teknis ke RW sebagai pelaksana lapangan, termasuk contoh proposal, format kegiatan, dan tata kelola anggaran yang benar.

Program “RW Bekasi Keren” sejatinya merupakan langkah positif Pemkot Bekasi dalam menata lingkungan berbasis pemberdayaan warga.

Namun kegagalan mengelola komunikasi, sosialisasi, dan transisi regulasi berisiko membuat program ini berjalan tidak efektif—bahkan mengancam para pelaksana di tingkat RW.

Tanpa pendampingan teknis yang kuat dan regulasi yang final serta seragam, program ini berpotensi memunculkan kekacauan administrasi, salah kelola, dan temuan hukum di kemudian hari.

Warga menunggu, apakah Pemkot akan merespons cepat kegelisahan RW sebelum dana turun dan program dieksekusi. ***


Eksplorasi konten lain dari Tren IDN

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Eksplorasi konten lain dari Tren IDN

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca